20/05/19

Produksi Baja Profil Lokal Berhasil Tekan Impor

|| NASIONAL  |  Industri |
OPPORTUNITY 


Selama periode lima tahun terakhir, 2013-2017, konsumsi profil baja dan bagian baja cenderung meningkat. Berdasarkan perhitungan Mediadata, setiap tahunnya, rata-rata meningkat sekitar 14,6%. Sebaliknya, pada tahun 2017 impor bahan bangunan ini menurun sekitar 44,9%, dari tahun sebelumnya yang sebesar 99.801 ton pada 2016 menjadi 55.001 ton pada 2017. Sedangkan tahun 2018, pada periode 10 bulan pertama (Januari-Oktober) impornya mengalami peningkatan menjadi 68.164 ton, tetapi masih rendah impornya dibanding tahun 2016 lalu.

Hal ini menunjukkan terjadi peningkatan produksi baja profil yang cukup signifikan di dalam negeri belakangan ini, mengingat utilitas kapasitas terpasangnya  selama ini masih relatif kecil. Selain itu, sebagian besar teknologi pada pabrik baja sudah ketinggalan zaman atau beroperasi lebih dari 30 tahun. Akibatnya sebagian besar pabrik dilengkapi dengan fasilitas produksi yang direkondisi, sehingga seringkali tidak efisien.

Masalah lain yang dihadapi oleh industri baja nasional adalah ketergantungan yang tinggi pada bahan baku impor (skrap, ingot, billet dan slab), termasuk untuk bagian baja dan industri profil. Oleh karena itu, ketika harga minyak global menguat, membuat harga komoditas cenderung meningkat, sehingga mengganggu kelangsungan proyek konstruksi yang direncanakan.

Dalam beberapa tahun mendatang, industri baja siku dan profil diharapkan bangkit mengingat masih akan digalakannya berbagai proyek infrastruktur oleh pemerintah. Disisi lain, kesepakatan ACFTA justru berpotensi memicu produksi dan penjualan baja di dalam negeri kontraproduktif. Mengingat semua produk baja yang di hasilkan sudah mampu diproduksi China, bahkan dengan harga yang sangat kompetitif. Ditambah lagi pemerintahnya juga memberikan subsidi yang besar bagi produk ekspor mereka.

    Meskipun demikian, suplay produk baja siku di dalam negeri tetap tumbuh mengingat proyek infrastruktur kelistrikan program 35.000 MW akan terus berlangsung karena rasio elektrifikasi masih rendah. Tentunya membutuhkan jaringan transmisi yang dicanangkan pemerintah sepanjang 67.000 kms hingga tahun 2026.

Sedangkan di sektor infrastruktur teleko-munikasi, berdasarkan laporan Mitratel, jumlah pengguna selular di Indonesia sekitar 367 juta pelanggan pada tahun 2017, setara dengan 141% dari populasi keseluruhan pengguna selular. Hipotesa tersebut memperkirakan bahwa tingkat penetrasi ponsel cerdas akan mencapai sekitar 71% di tahun 2020. Dengan demikian, akan mendorong pesatnya pembangunan menara telekomunikasi dalam beberapa tahun mendatang.

Oleh karena itu, agar industri baja siku nasional bisa signifikan terserap pasar di dalam negeri, memerlukan keberpihakan dari kebijakan pemerintah diantaranya dengan memundurkan jadwal penurunan bea masuk sebagai salah satu kebijakan yang perlu dilaksanakan (tarif barrier). Program lainnya untuk melindungi produsen baja lokal, yaitu diperlukan penerapan Standar Nasional Indonesia (SNI) wajib produk baja. Kondisi yang terjadi saat ini, sebagian besarproduk baja belum memiliki SNI wajib, termasuk produk baja siku dan profil.

Sementara itu, untuk penetrasi ke pasar global, produk industri baja termasuk baja profil akan semakin kompetitif dan dikendalikan oleh pemain-pemain besar dunia. Meski demikian, mengingat permintaan pasar domestik yang akan menyerap proyek-proyek infrastruktur dari pemerintah dan swasta, maka dalam lima tahun mendatang pertumbuhan konsumsi di dalam negeri diproyeksikan sekitar 10%, yaitu dari 1.204.000 ton pada 2019 menjadi 1.782.000 ton pada 2023 mendatang.



Tabel – 1
Proyeksi konsumsi baja siku dan profil,
2019 – 2023
Sumber : Mediadata









Bagikan




Komentar & Pesan

Nama
Email *
Pesan *
Pesan dan komentar Anda tidak di publikasikan. Terimakasih.
_______________________________________          Adv
__________________________________________________ 
WAKTU SAAT INI:
Follow:
Facebook  Twitter  Instagram  Youtube   




10/04/19

Industri Bataringan

Bataringan Ngegas Produksi Kala Beton Raihkan Rp 276 Milyar



Bataringan 2019 menarget 400-500 kubik/ hari.

"Untuk produk kita seperti bata ringan produksinya tahun ini kita naikin 100 persen lebih yah. Jika 2018 itu 200 kubik, tahun ini targetnya 400-500 kubik per hari karena memang permintaannya banyak, mulai dari wilayah Sulsel hingga Papua," hal itu diungkapkan COO Kalla Beton, Syam'un Saebe disela Sharing Session di Kafe Anomali, Makassar, Rabu (30/1/2019) yang lalu. 

Berindikasi demikian, jelas bataringan menjadi sangat diperlukan dalam tahun 2019. Penambahan produksi itu juga seiring dengan banyaknya bangunan yang mulai beralih dari bata merah menggunakan bata ringan. Keunggulannya, bata ringan tidak membebani struktur bangunan, kualitasnya halus, serta ukuran yang pas.



Untuk ready mix khusus beton, di Makassar ada dua titik pabrik yakni KIMA dan Tanjung Bunga. Karenanya pemasaran hanya di wilayah Makassar.
Meski begitu, ready mix merupakan core bisnis perusahaan yang menyumbang sekitar 60 persen dari total penjualan. Disusul bata ringan 35 persen, dan sisanya produk lain.
Tahun ini Kalla Beton menargetkan raihan omset hingga Rp 276 miliar. Target tersebut untuk semua penjualan produk yang dipasarkan Kalla Beton.

Marketing Dept Head Kalla Beton, Syatir menuturkan selain menambah kapasitas produksi serta peningkatan mutu produk dan pelayanan, perseroan juga menjalin kerja sama dengan asosiasi REI Sulsel dan sejumlah pengembang besar.

"Kalau untuk kualitas masing-masing produk memang sudah berstandar ISO sehingga masyarakat tidak perlu meragukannya lagi,” katanya.
Revolusi Industri
Membawakan tema Revolusi Industri 4.0 Pada Bidang Konstruksi dengan Light Weight Construction Metal, PT Citicon Nusantara Industries membahas tentang peralihan serta pengenalan karakteristik material-material baru yang lebih efisien dalam bidang konstruksi. Dihadiri oleh para mahasiswa Departemen Teknik Infrastruktur Sipil, PT Citicon membawakan dampak dari era revolusi industri 4.0 terhadap material konstruksi di Indonesia. Sebab, sebagai mahasiswa yang begitu dekat dengan dengan pelaksanaan praktis, perlu adanya wawasan khusus serta mendalam terkait perkembangan dan peralihan jenis material lama ke material jenis baru. Terlebih, di Indonesia sendiri pengenalan jenis material baru oleh masyarakat masih kurang dipahami dengan baik.

Dini Fitrisari, Marketing Manager PT Citicon Nusantara Industries, menjelaskan bahwa material tersebut bernama bata ringan aerasi atau Autoclaved Aerated Concerete (AAC). Material ini merupakan material pengganti dari bata konvesional sebagai bagian dari konstruksi sebuah bangunan. Ditemukan pertama kali pada 1923 oleh Ericson, AAC yang masih memiliki kekurangan ini disempurnakan oleh Joseph Hebel. Hingga pada 1955, material ini baru memasuki Indonesia, meskipun pada saat itu masih belum terdapat pabrik lokal yang memproduksinya. “Baru pada 2008, PT Citicon sebagai perusahaan pertama yang bergerak dalam proses produksi material AAC ini didirikan di Indonesia,” jelas wanita yang kerab disapa Dini ini.
©sumber:its.ac.id/tribunnews/ist



Bagikan




Komentar & Pesan

Nama
Email *
Pesan *
Pesan dan komentar Anda tidak di publikasikan. Terimakasih.
_______________________________________          Adv
__________________________________________________ 
WAKTU SAAT INI:
Follow:
Facebook  Twitter  Instagram  Youtube