• Headline
  • H⭕rizon
  • Review
  • About us






  • 07/01/21



    HARGA KEDELAI MELAMBUNG

    PENGUSAHA TEMPE TAHU ANCAM MOGOK PRODUKSI


    JAKARTA, mediadata.co.id-

    Menjelang tutup tahun -- pada akhir Desember 2020 lalu hingga awal Januari 2021,  pangan tahu dan tempe yang biasa dikonsumsi sebagai makanan sehari-sehari sempat melangka akibat sebagian produsen menghentikan produksinya, dikarenakan harga kedelai sebagai bahan bakunya mendadak melonjak hingga Rp 9.200 - Rp 10.000 per kilogram, padahal harga normalnya berkisar Rp 6.500 - Rp 7.000 per kilogramnya. 


    Keluhan para pengrajin tahun tempe itu sempat berbuntut panjang dengan rencana mogok produksi bersama, dimana Puskopti (Pusat Koperasi Produsen Tahu Tempe Indonesia) di berbagai daerah menyerukan mogok produksi bersama kepada seluruh pengusaha. Tujuannya, agar pemerintah bisa memberi solusi terhadap tingginya harga kedelai dari keran impor. Sebab ketergantungan impor kedelai ini masih sangat tinggi untuk bahan baku tahu tempe, belum bisa digantikan oleh kedelai lokal yang produksi sangat terbatas. 


    Menurut Ketua Umum Gakoptindo (Gabungan Koperasi Produsen Tempe Tahu Indonesia) Aip Syaifuddin mengatakan sebagian pengusaha tahu dan tempe sebenarnya sempat akan menaikkan harga sekitar 10-20 persen. Namun, rencana ini rupanya tak diamini oleh semua pengusaha secara kompak. Sebagian pengusaha, katanya, justru tetap menjual tahu dan tempe dengan harga normal agar dagangan tetap laku. Hal ini membuat harga jual tetap rendah pada akhirnya dan membuat sebagian produsen merugi.

    Tingginya harga kedelai impor rupanya terjadi karena permintaan meningkat pesat dari China. Hal ini sejalan dengan meredanya ketegangan hubungan dagang antara China dengan Amerika Serikat. “Pembeli terbesar kedelai di dunia adalah China, yakni sekitar 70 juta ton per tahun. Negara produsen semua jual ke China karena mereka beli yang grade-nya bagus,” tuturnya.


    Alhasil, harga kedelai di pasar dunia pun melejit. Data yang dikantongi Sekretaris Jenderal Kementerian Perdagangan Suhanto mencatat harga kedelai di pasar internasional naik 9 persen dari kisaran US$11,92 menjadi US$12,95 per busel. Hal ini membuat harga kedelai impor yang dibeli Indonesia pun meningkat hingga di kisaran Rp 9.600 per kilogram. Akibatnya, biaya produksi para pengusaha tahu dan tempe pun ikut melambung. Sebab, kedelai menyumbang sekitar 70 persen dari total biaya produksi tahu dan tempe yang dihasilkan. 


    Indonesia adalah konsumen kedelai terbesar kedua setelah China dengan kebutuhan nasional sekitar 2,8 juta ton per tahun. Kebutuhan kedelai ini akan terus meningkat sejalan dengan pertumbuhan jumlah penduduk dan kebutuhan bahan baku industri olahan pangan seperti tahu, tempe, kecap, susu kedelai, tauco, snack dan lainnya. Kebutuhan kedelai di dalam negeri, lebih dari 90%  digunakan sebagai bahan pangan.Terutama pangan olahan, yaitu sekitar 88% untuk tahu dan tempe dan 10% untuk pangan olahan lainnya, serta sekitar 2% untuk benih. 


    Impor kedelai capai US$ 1,06 miliar pada 2019


    Sampai saat ini, produksi kedelai belum dapat memenuhi kebutuhan domestik. Sehingga sebagian besar kedelai masih diimpor. Selama 2014-2019, impor kedelai cenderung meningkat, yaitu dari 1,96 juta ton senilai US$ 1,17 miliar pada 2014 menjadi 2,67 juta ton senilai US$ 1,06 miliar pada 2019. Memasuki tahun 2020, selama Januari-Oktober 2020, Indonesia sudah mengimpor lebih dari 2,11 juta ton kedelai dengan nilai 842 juta dollar AS atau sekitar Rp 11,7 triliun (kurs Rp 14.000). 


    Karena sebagian besar pasokan kedelai dalam negeri berasal dari impor bukan produksi lokal, maka perkembangan harga kedelai di pasar global sangat mempengaruhi harga kedelai di dalam negeri. Data Gabungan Koperasi Produsen Tempe Tahu Indonesia (Gakoptindo), harga kedelai impor melonjak dari kisaran Rp 6.000/kg menjadi sekitar Rp 9.500.kg. 


    Namun berdasarkan data BPS, selama 2014-2019, harga rata-rata impor (CIF) kedelai justru mengalami penurunan yaitu dari US$ 598,7 per ton pada 2014 turun menjadi US$ 398,7 per ton pada 2019. Dan per Oktober 2020, harga impor rata-rata kedelai mencapai US$ 397,8 per ton. Mencermati data tersebut, tidak menutup kemungkinan adanya permainan para spekulan yang mempermainkan komoditas ini untuk mengeruk keuntungan yang tidak wajar di akhir tahun 2020. 



    Tabel -

    Perkembangan impor kedelai ke Indonesia,

    2014-2020*)

    Tahun 

    Volume (Ton)

    Nilai (US$’000)

    Harga rata-rata, CIF (US$/Ton)

    2014

    1.965.811

    1.176.921

    598,7

    2015

    2.256.932

    1.034.366

    458,3

    2016

    2.261.803

    959.041

    424,0

    2017

    2.671.914

    1.150.766

    430,7

    2018

    2.585.809

    1.103.102

    426,6

    2019

    2.670.086

    1.064.565

    398,7

    2020*)

    2.118.121

    842.755

    397,8

    *) Januari-Oktober

    Sumber : BPS/Mediadata


    Amerika Serikat pemasok kedelai terbesar


    Data Gabungan Asosiasi Koperasi Tahu - Tempe Indonesia (Gakoptindo), selain dari Amerika Serikat, kedelai yang dipasok untuk para pengusaha tahu dan tempe didatangkan dari Kanada, Brasil dan Uruguay. 


    Selama 2018-2019, kontribusi impor kedelai dari Amerika Serikat mencapai 97,5% dan 94,1% dari total impor, yang masing-masing mencapai 2,58 juta ton pada 2018 dan naik menjadi 2,67 juta ton pada 2019. Kedelai juga dipasok dari Malaysia, Kanada, Brazil dan Prancis dengan volume impor relatif kecil.


    Pada 2019, tercatat beberapa perusahaan importir kedelai, yaitu PT. FKS Multi Agro, PT. Gerbang Cahaya Utama, PT. Bumi Universal Makmur, PT. Charoen Pokphand Indonesia, PT. Sentral Multi Agro, PT. Mabar Mitra Bersama, PT. Segitiga Agro Mandiri, PT. ADM Indonesia Trading & Logistics, PT. Agrico International dan PT. Surabaya Pelleting Company


    Tabel -

    Perkembangan impor kedelai menurut asal negara,

    2018-2019

    Asal Negara 

    2018

    2019


    Volume (Ton)

    Nilai (US$’000)

    Volume (Ton)

    Nilai (US$’000)

    Malaysia

    10.413

    6.002

    8.683

    4.540

    Selandia Baru

    471

    200

    -

    -

    Amerika Serikat

    2.520.253

    1.072.071

    2.513.311

    1.000.102

    Kanada

    54.531

    24.731

    128.912

    52.700

    Brazil

    -

    -

    18.900

    7.055

    Prancis

    127

    80

    230

    142

    Lainnya

    14

    18

    48

    23

    Total

    2.585.809

    1.103.102

    2.670.086

    1.064.565

    Sumber : BPS/Mediadata



    Produktifitas kedelai semakin rendah 


    Menurut data Kementan, luas tanam kedelai pada tahun 2018 mencapai 680.373 Ha atau terbesar dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, bahkan sempat merosot pada tahun 2017 lalu yang luas tanamnya hanya tersisa 355.799 Ha. Meski luas tanam tahun 2018 mengalami perbaikan bahkan terluas dalam periode lima tahun tersebut, namun produktifitasnya justeru lebih rendah dibandingkan tahun-tahun sebelumnya yang hanya mencapai 14,14 kuintal/hektar, padahal tahun 2015 sudah mencapai 15,68 kuintal per hektarnya.


    Guru Besar Bidang Pangan, Gizi, dan Kesehatan IPB University sekaligus Ketua Forum Tempe Indonesia Made Astawan mengatakan, produktivitas kedelai di Indonesia berkisar setengah dari produktivitas kedelai di AS. Selain itu, keuntungan per hektar di tingkat petani masih lebih kecil dibandingkan dengan jagung ataupun padi. Akibatnya, petani memprioritaskan lahannya untuk menanam jagung dan padi. 


    Made menambahkan, produktivitas kedelai di Indonesia berkisar 1,5-2 ton per hektar, sedangkan produktivitas di AS mencapai 4 ton per hektar. Produktivitas di AS lebih tinggi karena tanaman kedelai mendapatkan penyinaran matahari sekitar 16 jam, sedangkan Indonesia berkisar 12 jam. 


    Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Arief Nugraha mengatakan kedelai Indonesia belum dapat memenuhi kebutuhan dalam negeri. Sebab, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), produksi kedelai domestik hanya sebesar 982.598 ton. Sedangkan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, Indonesia perlu melakukan impor sebanyak 2,6 juta ton. 


    Menurutnya, kedelai sulit tumbuh optimal di Indonesia yang beriklim tropis karena kedelai merupakan tanaman subtropis. Sebab, iklim merupakan salah satu faktor yang memengaruhi tingkat produktivitas kedelai. Selain itu, kedelai juga merupakan jenis tanaman yang membutuhkan kelembaban tanah yang cukup dan suhu yang relatif tinggi untuk mencapai pertumbuhan yang optimal. Sementara itu di Indonesia, curah hujan yang tinggi pada musim hujan mengakibatkan tanah menjadi jenuh air. 


    Drainase yang buruk juga menyebabkan tanah juga menjadi kurang ideal untuk pertumbuhan kedelai. Usaha produksi kedelai di Indonesia harus menyesuaikan dengan pola dan rotasi tanam. Hal ini disebabkan petani belum menilai kedelai sebagai tanaman utama.



    Tabel -

    Perkembangan luas tanaman kedelai Indonesia,

    2014-2018*)

    Tahun 

    Luas (Ha)

    Produktivitas (Kuintal/Hektar)

    2014

    615.685

    15,51

    2015

    614.095

    15,68

    2016

    576.987

    14,90

    2017

    355.799

    15,14

    2018

    680.373

    14,14

    Sumber : Kementan/BPS



    Swasembada kedelai jauh dari target


    Menurut Kepala Sub Direktorat Padi Irigasi dan Rawa, Direktorat Serealia Ditjen Tanaman Pangan Kementerian Pertanian (Kementan) Mulyono, masih sulitnya Indonesia untuk swasembada kedelai karena semakin rendahnya minat petani untuk menanam kedelai. Hal ini karena harga jual panen di tingkat petani sangat rendah. 


    Sementara itu, pemerintah melalui Kemendag telah mengatur harga acuan pembelian kedelai lokal di tingkat petani agar harganya tidak terlalu rendah. Aturan itu tertuang dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 7 Tahun 2020 tentang Harga Acuan Pembelian di Tingkat Petani dan Harga Acuan Penjualan di Tingkat Konsumen. 


    Dalam kebijakan tersebut, harga acuan pembelian kedelai lokal di tingkat petani sebesar Rp 8.500 kilogram. Namun tidak terealiasasi dengan baik di lapangan. Karena harga jual panen di tingkat petani sangat rendah. Minat petani untuk menanam kedelai pun semakin berkurang dan memilih menanam komoditas lain yang lebih menjanjikan.



    Belakangan akibat turunnya minat petani kedelai, produksi kedelai menyusut drastis tinggal di bawah 800.000 ton per tahun, padahal kebutuhan nasional sebesar 2,8 juta ton per tahun. Dalam nota keuangan tahun anggaran 2021, pemerintah menargetkan produksi kedelai 420.000 ton pada tahun 2021. Pada tahun 2020 , produksi diperkirakan berkisar 320.000 ton atau lebih rendah dibandingkan produksi tahun 2019 yang mencapai 420.000 ton. Meski demikian, Indonesia sebenarnya pernah mengalami swasembada kedelai pada tahun 1992. Saat itu produksi kedelai dalam negeri mencapai 1,8 juta ton.


    Dalam renstra Kementerian Pertanian yang disusun di periode pertama pemerintahan Presiden Jokowi, swasembada kedelai bisa terealisasi paling lambat pada tahun 2020 atau tahun lalu. Namun sampai saat ini, target swasembada kedelai belum terwujud. Sebaliknya impor kedelai justru cenderung mengalami kenaikan. Dengan kata lain, produksi kedelai lokal masih jauh dari kebutuhan kedelai nasional. 


    Lemahnya produktivitas kedelai lokal tersebut tidak didukung oleh industri perbenihan yang kuat, mekanisasi usaha tani berskala besar serta efisien dan juga lahan khusus kedelai yang luas. Akibatnya dari pada menanam kedelai, petani lebih memilih menanam beras dan jagung. Kecuali ada intervensi khusus dari pemerintah.


    Oleh karena itu, target swasembada kedelai pada 2020 perlu dikaji ulang karena produktivitas kedelai Indonesia dinilai masih rendah, sementara impor masih cukup tinggi. Pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar pengaruhi harga jual kedelai. 


    Tabel -

    Perkembangan produksi kedelai Indonesia,

    2014-2020

    Tahun 

    Volume (Ton)

    Pertumbuhan (%)

    2014

    954.997

    -

    2015

    963.183

    0,0

    2016

    859.653

    -10,8

    2017

    538.728

    -37,4

    2018

    982.598

    182,3

    2019

    420.000

    -57,3

    2020

    320.000

    -33,9

    Sumber : Kementan/BPS





    BACA:



    Progres Proyek Smelter Tembaga di Indonesia


    Dalam rangka hilirisasi produk mineral, hingga kini terdapat enam jenis produk mineral yang diolah pada pabrik peleburan dan pemurnian (smelter). Menurut jenisnya, minat investor terbanyak adalah membangun smelter nikel, yaitu 41 proyek atau sekitar 61% dari total proyek smelter yang ...




    Dari Produsen Utama Dunia Indonesia Berkembang Jadi Negara Konsumen Kopi

    Didorong pertumbuhan kelas menengah dan perubahan gaya hidup masyarakat, terutama generasi milenial, seperti tren kopi susu kekinian hampir di berbagai daerah telah mendorong peningkatan konsumsi kopi...




    Di Tengah Pandemi 

    Bisnis Logistik dan Jasa Kurir Terus Melonjak

    Geliat bisnis sektor logistik dan kurir melonjak saat pandemi virus corona. Salah satu pemicunya adalah meningkatnya aktivitas digital masyarakat saat pandemi termasuk di dalamnya belanja online atau daring. Aktivitas ini yang mendongkrak sektor logistik ...





    Bagikan

    Komentar & Pesan

    Nama
    Email *
    Pesan *
    Pesan dan komentar Anda tidak di publikasikan. Terimakasih.
    _______________________________________          Adv
    __________________________________________________ 
    WAKTU SAAT INI:
    Follow:
    Facebook  Twitter  Instagram  Youtube   
    mediadata.co.id - News & Report   

    Tidak ada komentar: